Kita
semua pernah merasakan sebagai anak bagi kedua orang tua kita. Terlepas
dari apakah sekarang kita telah berumah tangga dan telah memiliki anak
atau bahkan cucu, maupun kita belum memilikinya. Yang pasti, kita telah
berpengalaman bagaimana kehadiran kita di antara kedua orang tua
benar-benar menambah kebahagiaan mereka. Dengan demikian benarlah bila
anak disebut juga sebagai qurrata a’yun, yang berarti penyejuk pandangan
mata bagi kedua orang tuanya. Dari pengalaman seperti itulah, kita yang
telah berumah tangga begitu sangat mendambakan hadirnya seorang anak di
tengah-tengah keluarga.
Selain
itu memang Allah ‘Azza wa jalla telah menganugerahkan fitrah bahwa kita
butuh kepada seorang pasangan agar beranak-pinak dan melanjutkan
perjuangan ibadah kita kepada-Nya. Tidak hanya anugerah fitrah ingin
hidup berumah tangga untuk melestarikan jenis manusia saja, namun Dia
‘Azza wa jalla juga memerintahkan agar pasutri senantiasa mengharap anak
tatkala bersenang-senang bersama pasangannya. Dia ‘Azza wa jalla
berfirman:
أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ
لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ
تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ
بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ
“Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri
kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi
mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu (yaitu anak[1]).” (QS al-Baqarah: 187)
Sehingga wajar bila seluruh pasutri yang benar tujuan pernikahannya sangat berharap lahirnya anak mereka.
Namun,
ternyata tidak seluruh pasutri dianugerahi seorang anak oleh Allah
‘Azza wa jalla. Bahkan jumlah pasutri yang belum memiliki anak setelah
lama menikah, atau bahkan setelah mereka sama-sama tua pun tidak
sedikit, meski tentunya pasutri yang dianugerahi anak oleh Allah ‘Azza
wa jalla jauh lebih banyak. Meski begitu, tak jarang pula kita dapati
keluhan kesedihan dari mereka yang sedikit ini perihal belumnya atau
tidak memiliki anak.
Seluruh Kebaikan dan Keburukan Adalah Ujian
Sebagai
insan beriman tentunya yakin bahwa apapun yang terjadi di alam ini
tentu ada hikmahnya. Ada kebaikan di balik semuanya. Bila anak adalah
hal baik di antara apa yang telah diusahakan oleh seseorang, tentu bila
berhasil mendapatkannya merupakan kebaikan bagi seseorang. Dan
seandainya seseorang dalam usahanya tidak memperoleh hasil, tentu tidak
mesti merupakan keburukan. Mungkin memang buruk menurut kita, namun
semuanya tentu mengandung hikmah yang baik pula. Sebab, kebaikan dan
keburukan, termasuk punya anak maupun tidak, merupakan fitnah, ujian
dari-Nya.
وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Kami
akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS.
al-Anbiya’ [21]: 35)
Seluruh Aktivitas Kita pun Ujian
Tatkala
Allah ‘Azza wa jalla menganugerahkan seorang anak kepada salah satu
pasutri, artinya Dia ‘Azza wa jalla hendak menambah aktivitas pasutri
tersebut sebagai ujian. Demikian juga tatkala Allah ‘Azza wa jalla
mencegah hadirnya seorang anak dari salah satu pasutri, pun agar Dia
‘Azza wa jalla melihat aktivitas mereka yang juga merupakan ujian. Jadi,
bila kita mau mentadabburi apa yang kita lakukan sebagai aktivitas
keseharian kita, baik dengan hadirnya anak maupun dengan
ketidakhadirannya sekali-pun, sungguh tidak ada yang lepas dari makna
sebuah ujian.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
(QS. al-Mulk [67]: 2)
Makna
ayat tersebut bahwa Dia ‘Azza wa jalla menciptakan seluruh makhluk dari
tidak ada menjadi ada agar Allah ‘Azza wa jalla menguji mereka (supaya
diketahui) siapa di antara mereka yang paling baik amalan
(aktivitas)nya.[2]
Bila
makna tersebut sedikit dijabarkan, maka Dia ‘Azza wa jalla hendak
menguji manusia yang kaya dengan kekayaannya supaya kelak ditanya
tentang syukurnya, yang fakir dengan kefakirannya supaya kelak ditanya
tentang kesabarannya, yang dianugerahi anak dengan anak-anak
keturunannya supaya kelak ditanya tentang tanggung jawabnya terhadap
mereka, serta yang tidak dianugerahi anak dengan kesendiriannya dengan
pasangannya saja supaya kelak ditanya tentang amalan usaha mereka.
Demikian seterusnya. Intinya, Allah ‘Azza wa jalla hanya ingin dari
manusia seluruhnya amal usaha yang paling baik saja. Seperti yang
disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam:
إنََّ
الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرةٌ ، وإنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا
فَيَنْظُرَ كَيفَ تَعْمَلُونَ ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا
النِّسَاء ؛ فإنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إسرائيلَ كَانَتْ في النِّسَاءِ
“Sesungguhnya
dunia itu manis dan hijau (menggiurkan), sementara Allah menjadikan
kalian sebagai pemakmurnya agar Dia melihat apa amalan (yang kalian
usahakan). Oleh karenanya, bertakwalah (kepada Allah pada) dunia dan
kaum wanita, sebab sesungguhnya godaan pertama (yang membinasakan) bani
Isra’il ada pada kaum wanita.” (HR. Muslim: 2742)
Anak pun Merupakan Ujian
Tidak saja aktivitas kita saja yang merupakan ujian, bahkan anak itu sendiri merupakan cobaan. Dia ‘Azza wa jalla berfirman:
وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Dan
ketahuilah, bahwa harta dan anak-anakmu hanyalah sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. al-Anfal [8]:
28)
Ketika
menafsirkan ayat tersebut, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
“Artinya, cobaan dan ujian dari-Nya buat kalian. Sebab Dia ‘Azza wa
jalla menganugerahkan semua itu buat kalian agar Allah mengetahui apakah
kalian bersyukur kepada-Nya atas semua itu dan menaati-Nya dengannya,
atau justru kalian sibuk dengannya dan asyik sekali sehingga
melalaikan-Nya.”
Tak
heran bila terkadang anak itu menjadi musuh bagi orang tuanya. (QS.
at-Taghabun ayat 14) Maksudnya, terkadang istri atau anak dapat
menjerumuskan suami atau ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang tidak dibenarkan agama. Saat itulah kita harus waspada dari
anak-anak. Ini pun makna sebuah ujian dan cobaan.
Tidak Punya Anak Ada Hikmahnya
Setelah
semua itu, kita bisa memahami bahwa dianugerahi anak ataukah tidak sama
saja berarti diberi ujian oleh Allah ‘Azza wa jalla. Semuanya agar
manusia beramal yang paling baik menurut Allah dengan masing-masing
ujian serta cobaannya. Yang punya anak agar beramal yang baik dengan
anak-anak mereka, yang tidak punya anak pun agar beramal yang baik
dengan tidak adanya anak.
Jadi, tidak punya anak pun menunjukkan bahwa di balik apa yang Allah kehendaki dari kita seluruhnya mengandung hikmah dan kebaikan.
Jadi, tidak punya anak pun menunjukkan bahwa di balik apa yang Allah kehendaki dari kita seluruhnya mengandung hikmah dan kebaikan.
لِلَّهِ
مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ
يَشَاءُ إِنَاثاً وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ. أَوْ يُزَوِّجُهُمْ
ذُكْرَاناً وَإِنَاثاً وَيَجْعَلُ مَن يَشَاءُ عَقِيماً إِنَّهُ عَلِيمٌ
قَدِيرٌ
Ibnu
Katsir rahimahullah saat menafsirkan ayat tersebut, “Jadi, Allah ‘Azza
wa jalla menjadikan manusia itu empat golongan, ada yang diberi
anak-anak perempuan, ada yang diberi anak-anak lelaki, ada yang diberi
dua jenis anak-anak lelaki dan perempuan, dan ada yang Dia cegah
(anak-anak) darinya yang laki-laki maupun yang perempuan. Sehingga Allah
jadikan ia mandul, tidak punya keturunan dan tidak diturunkan anak
buatnya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui, yaitu terhadap siapa yang
berhak mendapatkan masing-masing bagiannya dari keempat bagian tersebut.
Maha Kuasa, yaitu atas apa yang Dia kehendaki berupa (menjadikan)
manusia berbeda-beda seperti tersebut.”
Beberapa Hikmah Tidak Punya Anak
Berikut ini beberapa hikmah di balik kehendak Allah ‘Azza wa jalla tidak memberi anak kepada sebagian manusia:
1. Sebagai tanda kekuasaan Allah ‘Azza wa jalla. Sebagaimana Dia kuasa menciptakan manusia dengan keempat golongannya tersebut.
Ketika
Allah ‘Azza wa jalla menciptakan Nabi Isa ‘Alaihissalam dari seorang
ibu tanpa ayah Allah ‘Azza wa jalla sebutkan hikmahnya agar menjadi
tanda dan sebagai rahmat. (QS. Maryam: 21)
Pun
dalam hal tidak memberi anak, Allah ‘Azza wa jalla hendak menunjukan
kekuasaan-Nya yang mutlak atas seluruh makhluk, agar makhluk meyakini
dan bertambah iman dengan mengetahui hikmah ini. Sebab, di antara hal
yang menambah iman ialah mentadabburi tanda-tanda kekuasaan Allah atas
makhluk-Nya. Tentu bertambahnya iman merupakan kebaikan yang diharapkan
layaknya seorang anak yang diidamkan.
2. Agar Allah ‘Azza wa jalla memberikan pahala yang lebih baik.
Tidak
dipungkiri bahwa anak merupakan kebaikan. Namun tidak tentu kehadiran
anak akan membuahkan pahala yang lebih baik. Bisa jadi tidak dianugerahi
anak justru membuahkan pahala yang lebih baik dan lebih banyak lagi,
hal ini sebagaimana yang tersirat dalam QS. al-Anfal [8]: 28).[3]
Mengenai
QS. al-Anfal: 28 Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan adalah sebagai
berikut, “Yaitu, pahala-Nya, pemberian-Nya serta surga-Nya jauh lebih
baik bagi kalian daripada harta maupun anak-anak. Sebab, terkadang ada
anak-anak yang justru menjadi musuh, sedangkan kebanyakannya tidak
memberi kecukupan bagimu sedikit pun (dari adzab-Nya). Sementara Allah
‘Azza wa jalla, Dialah yang Maha mengatur, Maha merajai dan Pemilik
dunia serta akhirat, juga dari-Nya ada pahala yang sangat besar, kelak
di hari kiamat.”
3. Menguatkan semangat beramal baik.
Ketika
seorang mukmin mengetahui bahwa seluruh aktivitas kehidupannya
merupakan ujian dan cobaan dari Allah, agar diketahui siapa yang paling
baik amalannya, maka bagi yang tidak memiliki anak akan semakin semangat
beramal kebaikan. Sebab, saat ia melihat saudaranya yang diberi
anugerah anak oleh Allah ‘Azza wa jalla, dia tahu bahwa itu ibarat medan
amal bagi saudaranya. Medan untuk menambah amal shalih dengan memenuhi
hak-hak anaknya. Sementara dia diberi medan amal yang berbeda. Dengan
mengetahui hal ini seseorang akan terpupuk semangatnya untuk tidak mau
kalah beramal meski ia tidak memiliki medan amal shalih seperti milik
saudaranya.
4. Agar Allah mengingatkan kelemahan hamba-Nya sehingga tidak takabur lagi sombong.
Tatkala
seseorang mengetahui saudaranya memiliki anak, dengan husnuzhan kepada
Allah dan kepada saudaranya berarti ia mengetahui bahwa saudaranya
itulah yang lebih layak mengasuh anak, mendidiknya serta mencukupi
hak-haknya sehingga dianugerahi anak, bukan dirinya. Dengan begitu ia
tidak akan sombong, namun tawadhu’ di hadapan saudaranya semata-mata
karena Allah, dan lebih dari itu ia semakin merendahkan diri di hadapan
Allah ‘Azza wa jalla.
5. Agar hamba-Nya memperbanyak memohon ampunan-Nya.
Tatkala
seorang tahu bahwa dirinya banyak kelemahan dan kekurangan, ia akan
memperbanyak istighfar. Memperbanyak istighfar merupakan sebab
dianugerahkannya anak, selain merupakan kebaikan di atas kebaikan anak.
Sehingga Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا
“Berbahagialah
orang yang kelak mendapati lembaran catatan amalnya terdapat istighfar
yang banyak. “ (HR. Ibnu Majah: 3818, dishahihkan oleh al-Albani dalam
Shahihul Jami': 3930.)
6. Agar Allah menunaikan hak-hak anak-anak yatim dan fakir miskin.
Bagi
rumah tangga yang tidak dikaruniai anak akan mencari obat rindunya
terhadap kehadiran anak dengan berbagai cara yang dibenarkan syariat. Di
antara yang bisa jadi pilihan adalah menyantuni anak-anak yatim dan
terlantar lantaran miskin. Sehingga dengannya Allah ‘Azza wa jalla
memenuhi hak-hak mereka untuk disantuni.
7.
Agar Allah ‘Azza wa jalla melihat siapa yang berusaha mendapatkan
anugerah anak dengan cara yang diridhai-Nya dari siapa yang bermaksiat
kepada-Nya.
Syaikh
Abu Bakar al-Jazairi mengatakan, “Dan tidak mengapa melakukan terapi
penyembuhan dengan cara yang disyariatkan tatkala dirasa ada kemandulan.
Adapun apa yang sekarang mulai bermunculan berupa bank-bank mani, atau
mengusahakan kehamilan dengan cara menuangkan ovum (orang lain) yang
telah dibuahi air mani orang lain (bukan suaminya) ke dalam farji
perempuan mandul dan semisalnya maka itu semua merupakan perbuatan
orang-orang ateis yang tidak beragama untuk Allah dengan ketaatan dan
berserah diri terhadap qadha’-Nya, meski pelakunya puasa, shalat dan
mengaku beriman. Sebab, tiada lagi rasa malu bagi mereka, dan tidak ada
iman bagi orang yang tidak punya malu. Cukuplah keburukan perilaku kaum
ini tatkala mereka membuka aurat-aurat tidak untuk menyelamatkan
kehidupan dan bukan atas keridhaan Allah Rabb langit dan bumi.” [4]
8. Agar Allah tetapkan halalnya poligami dan haramnya zina.
Sebab
poligami merupakan alternatif yang baik untuk usaha memiliki anak.
Poligami dihalalkan, adapun selingkuh, berzina dan semisalnya adalah
haram.
9. Menguatkan kualitas kesabaran seorang hamba.
Tatkala
tidak punya anak dinilai sebuah keburukan, maka ia merupakan cambuk
yang menggiatkan hamba agar meningkatkan kesabarannya. Sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan surat
al-Anbiya’ ayat 35, “Yaitu Kami uji kalian terkadang dengan berbagai
musibah dan terkadang dengan berbagai kenikmatan, agar Kami melihat
siapa yang bersyukur dari yang kufur dan siapa yang bersabar dari yang
berputus asa.”
Inilah
sebagian hikmah dari rumah tangga yang belum memiliki anak. Tentunya
masih terlalu banyak hikmah yang hanya Allah ‘Azza wa jalla saja yang
mengetahuinya sehingga hanya berserah diri kepada qadha’-Nya dengan
berharap seluruh kebaikan yang harus kita upayakan.
وَعَسَى
أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ
شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia Amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. al-Baqarah: 216) Wallahul
muwaffiq.